EGO MENGORBANKAN KESADARAN
Teramat sulitkah menjadi baik itu?
Sebab aku melihat, betapa mudahnya menjadi jahat terbentuk.
Walau seribu tahun melatih jiwa,
masih juga berpeluang menjadi monster.
Keinginan, adalah jalan tuk menempuh, membuang setiap hasrat yang membuat kian tajam, mengisris indahnya kebaikan.
Coba tengok dahan, ribuan helai daun bermukim di sana tanpa ragu, bahwa ranting akan menjatuhkannya.
Melainkan, ada saat kan tiba melepas sua.
Kemudian tanah, mengucap selamat datang.
Adakah kebencian saat tanah menyambut?
damai senantiasa menyambung setiap pertalian.
Lalu kenapa, ada saja ketidakmengertian.
Mengakar kuat, menjalari kesadaran naluri yang mestinya bekerja untuk menyiram kekeringan.
Namun nurani, terlambat mengeluarkannya dari satu musim.
Kemarau, sudah mengambilnya.
Ada ketidakmengertian lainnya.
Saat jiwa dikeluarkan dari kewarasan.
Seolah fikiran bukan lagi sebagai buku, tempat menuliskan setiap kebaikan kebaikan, yang dibaca berulang-ulang.
Kemudian menerapkannya.
Terlupa! setiap tumbuhan akan mati, jika air sengaja di jauhkan.
Bahkan saat musim hujan tiba, rintik rintiknya, tercurah sia sia.
Tak peduli, dengan apa petani menggali lahan, cangkul diambil.
Kemudian bibit diracuni.
Agar tak ada tumbuhan yang hidup.
Sebab, kecongkakan mendarah dalam daging.
Dapat terlihat, bagaimana setiap gerakan membentuk satu lingkaran masa, menjadikan keinginan sebagai penguasa keserakahan.
Begitu percaya, bahwa hidup dengan keegoisan dapat menjadikannya sepeti pohon dengan ribuan daun dan buah.
Sama sekali tak dapat dipetik.
Sebab ranting hanyalah tercipta dari sebuah halusinasi, yang tak pernah terbentuk. Bagaimana bisa menopang buah dan daun?
sedang pohon sebatang kara, yang tak tahu menghadirkan burung burung, walau sekedar bertengger sesaat.
-----
Kiky, 19 Mei 2013
Teramat sulitkah menjadi baik itu?
Sebab aku melihat, betapa mudahnya menjadi jahat terbentuk.
Walau seribu tahun melatih jiwa,
masih juga berpeluang menjadi monster.
Keinginan, adalah jalan tuk menempuh, membuang setiap hasrat yang membuat kian tajam, mengisris indahnya kebaikan.
Coba tengok dahan, ribuan helai daun bermukim di sana tanpa ragu, bahwa ranting akan menjatuhkannya.
Melainkan, ada saat kan tiba melepas sua.
Kemudian tanah, mengucap selamat datang.
Adakah kebencian saat tanah menyambut?
damai senantiasa menyambung setiap pertalian.
Lalu kenapa, ada saja ketidakmengertian.
Mengakar kuat, menjalari kesadaran naluri yang mestinya bekerja untuk menyiram kekeringan.
Namun nurani, terlambat mengeluarkannya dari satu musim.
Kemarau, sudah mengambilnya.
Ada ketidakmengertian lainnya.
Saat jiwa dikeluarkan dari kewarasan.
Seolah fikiran bukan lagi sebagai buku, tempat menuliskan setiap kebaikan kebaikan, yang dibaca berulang-ulang.
Kemudian menerapkannya.
Terlupa! setiap tumbuhan akan mati, jika air sengaja di jauhkan.
Bahkan saat musim hujan tiba, rintik rintiknya, tercurah sia sia.
Tak peduli, dengan apa petani menggali lahan, cangkul diambil.
Kemudian bibit diracuni.
Agar tak ada tumbuhan yang hidup.
Sebab, kecongkakan mendarah dalam daging.
Dapat terlihat, bagaimana setiap gerakan membentuk satu lingkaran masa, menjadikan keinginan sebagai penguasa keserakahan.
Begitu percaya, bahwa hidup dengan keegoisan dapat menjadikannya sepeti pohon dengan ribuan daun dan buah.
Sama sekali tak dapat dipetik.
Sebab ranting hanyalah tercipta dari sebuah halusinasi, yang tak pernah terbentuk. Bagaimana bisa menopang buah dan daun?
sedang pohon sebatang kara, yang tak tahu menghadirkan burung burung, walau sekedar bertengger sesaat.
-----
Kiky, 19 Mei 2013
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar semau kalian