Manusia, kerap menyakiti diri. Terlihat dari kegiatan bersosialisasi yang tidak sehat dalam sebuah lingkungan. Baik lingkungan perumahan ataupun perkantoran. Beberapa orang bergerombol dengan bibir komat kamit, berkicau "tentang burung nuri dengan bulu warna-warni, atau tentang merak yang begini-begitu". Tanpa atau disadari, semakin jauh mereka membahas atau bercerita tentang subjek tersebut, makin dalam rasa sakit yang dihasilkan oleh ulah sendiri.
Kadang timbul pemikiran, kenapa mereka tidak mencari sesuatu hal yang tentunya positif, berkenaan dengan bidang yang diminati, yang mana dapat mengalihkan ketidaksibukan mereka menjadi kesibukan hingga ada peralihan dari sesuatu yang belaka sia sia, menjadi berguna. Contoh: dunia tulis menulis.
Banyak faedah atau guna yang bisa dipetik dalam tulisan. Selain itu, kita sama ketahui, dunia sastra dari zaman ke zaman hingga keseluruh pelosok dunia, tak ada matinya. Zaman boleh berubah, seperti zaman millennium atau zaman Adam kata orang .
Tapi coba dilihat, dunia perpuisian, sajak, esai, ataupun lainnya, yang berada dalam lingkup kesusasteraan tak usang oleh zaman. Dan juga, zaman tak pernah mengubah namanya. Bahkan, hingga kini tetap eksis di penjuru dunia.
Banyak bidang lain yang bisa dilirik sesuai minat, untuk mengisi kekosongan ruang, sehingga waktu tidak menjadi saksi atas keburukan laku yang terpilih. Fatalnya, manusia kerap berbohong dalam setiap tutur, hanya untuk mendapat nilai dari rangkaian kebohongan yang terucap. Dengan santai tanpa menyandang rasa malu akan sekitar.
Andai setiap individu menyadari, setiap kerugian yang dihasilkan. Sebab, ada petugas bank yang displin mencatat setiap transaksi. Tanpa lelah menghitung setiap saldo yang disetor. Mau dikemanakan rekening tersebut? Akankah ditukar? Dengan apa? Namun laku tetap berlangsung, seakan kena kutukan, darah dan daging bagian tak terpisahkan . Mengerikan!!!
Ketidakmengertian terhadap tingkah yang bisa disebut penyakit hati ini, sungguh membuka ruang tanya, adakah ini dikarenakan factor kejiwaan, ataukah membuat peluang untuk menurunkan kualitas diri, ataukah hal terparah mendominasi? Yakni, menidurkan rasa malu.
Di satu sisi, tidak sedikit manusia sering menyebut-nyebut kebersamaan itu indah namun ternyata ucapan semata, sebab ucapan tersebut tidak di dasari dengan sadar akan makna atau definisi kebersamaan lalu timbullah semacam kamuflase akan ucap dan laku. Kerap, dengan lantang menyatakan akulah kebenaran seakan memberikan pernyataan yang berkeTuhanan yang sebenarnya Maha tak lagi Esa, dibuat.
Adapula kedengkian yang kadang tak disangka bertamu susahkan hati. Di mana hati dan fikiran terus dipacu oleh picuan ketidaksukaan yang sebenarnya dimulai dari mata atas cobaan dalam fungsi indera ini. Pacu dan picu berlomba, menata bara dalam dada siap membakar hal yang dianggap lawan.
Keheranan tak pernah usai. Parahnya, kantor dijadikan markas tuk bergosip, seolah tugas utama mereka adalah bergosip, bagai mahasiswa psigologi yang sedang mencari bahan untuk skripsi. Dan bersambut seperti lidah yang saling berjabat, erat.
Batas dan batasan terhadap lingkungan dan orang sekitar pun jauh dari standar. Berbicara tidak pada tempatnya, tidak pada seharusnya. Sehingga yang mencolok adalah suasana yang seharusnya barada di pasar, terminal atau halte bus, tepatnya.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar semau kalian